Identifikasi Masalah
Kebanyakan kita kalau disebutkan tentang “koperasi” pasti akan terasosiasi
dengan bisnis skala mikro dan kecil. Karena itu banyak yang mengubah
kepanjangan UKM dari “Usaha Kecil dan Menengah”
menjadi Usaha Kecil dan Mikro. Paradigma orang tentang koperasi masih berkutat sekitar
urusan bisnis yang kecil, ditangani lembaga yang kecil, dan seringkali bikin
repot pemerintah karena selalu minta subsidi dan bantuan lainnya.
Bagaimana jika usaha yang dianggap
kecil-kecil itu berkembang menjadi 2 trilyun seperti yang dimiliki oleh sebuah koperasi di Pekalongan? Apakah yang namanya usaha
kecil itu tidak boleh menjadi besar dan harus tetap kecil? Saya jadi teringat
kunjungan saya ke Basel, markas pengaturan perbankan tingkat dunia. Di sela
rapat dengan IFSB (Islamic Financial Service Board) dan Bank of International
Settlement (BIS), saya keliling kota tua itu. Ternyata disamping bank yang menguasai
sektor keuangan, ada lembaga lain yang menguasai sisi lainnya, yaitu koperasi.
Disana, yang memiliki mall adalah koperasi yang anggotanya koperasi setempat.
Tanpa dinyata di negara salah satu mbah kapitalis, ternyata koperasinya malah
lebih maju dari Indonesia yang katanya penduduknya suka bergotong-royong.
Adalah PHBK (Proyek Hubungan Bank dengan
KSM-Kelompok Swadaya Masyarakat) pada tahun 1990an yang digagas Bank Indonesia
bersama World Bank dan AMF yang mengawali hadirnya Baitul Mal Wattamwil (BMT).
Sebuah LSM bernama Pusat Pendidikan dan Pembinaan Usaha Kecil (P3UK) yang
berlokasi di Kampung Ambon, Jakarta, mengembangkan lembaga simpan-pinjam ala
“credit union” seperti yang berkembang di Inggris itu, tapi memakai pola
syariah yang populer karena berdirinya Bank Muamalat, bank umum syariah pertama,
pada tahun 1992.
Keberhasilan P3UK mengembangkan BMT
mengilhami ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) untuk mendirikan lembaga
yang sama. Maka pada tahun 1996 berdirilah Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha kecil
(Yinbuk) dengan lembaganya Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Sejumlah
tokoh berkumpul disana, diantaranya BJ Habibie, Muslimin Nasution, Amin Aziz,
Adi Sasono dan lain-lain. Dengan bantuan dari Bank Muamalat Pinbuk berhasil
mengembangkan BMT hingga ke pelosok daerah. Di Aceh, BMT besutan Pinbuk harus
berganti baju menjadi Baitul Qiradh (disebut Beqi) karena para ulama tidak
berkenan dengan kata Baitul Mal yang begitu agung dalam sejarah Islam menjadi
sebuah lembaga usaha kecil yang kadang-kadang juga bermasalah.
Pengembangan BMT juga dilakukan oleh Dompet
Duafa, sebuah segmen sosial dari harian Republika sejak tahun 1994. Berbekal
dana infak dan sadaqah, Dompet Duafa mengembangkan FES, Forum Ekonomi Syariah
yang anggotanya terdiri dari para pengurus BMT dari berbagai daerah. Tidak sampai
disitu, Dompet Duafa, setelah terpisah dari harian Republika, juga
mengembangkan BMT Center, disamping Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan Klinik Gratis
Di Bogor, pertumbuhan BMT dimotori oleh
Yayasan Peramu pada tahun 1994. Dikelola oleh anak-anak muda asuhan Dr. AM
Saefuddin dari Universitas Ibn Khaldun, yayasan ini berusaha menyelamatkan para
pedagang di pasar Merdeka dan sekitarnya dari kakitangan rentenir yang
beroperasi seiring liberalisasi ekonomi pada tahun 1980an. Dari kumpulan BMT
ini Peramu bahkan mampu menggalang dana untuk kemudian mendirikan sebuah BPR
Syariah.
Mengapa BMT lebih sukses dari koperasi biasa?
Kata Dr. AM Saefuddin, cendekiawan dan ekonom
asal Bogor, image koperasi di Indonesia sudah demikian buruk sehingga timbul
anggapan bahwa yang namanya lembaga usaha kecil seperti koperasi pasti buruk
dan bangkrut. Bahkan ada yang memplesetkan koperasi menjadi “kuperas-i”
(koperasinya diperas) atau KUD menjadi “Ketua Untung Duluan”. Lama-kelamaan
anggapan ini mengkristal menjadi paradigma yang susah diubah.
Pertama BMT umumnya dibangun dengan swadaya
masyarakat. Pendirian BMT biasanya dimulai dengan semangat masyarakat untuk
membangun lembaga ekonomi yang dapat membantu sesama mereka yang lebih lemah
secara ekonomi dan menyelamatkan mereka dari jerat rentenir. Para tokoh
berkumpul dan diberikan penjelasan mengenai cara kerja BMT yang mirip-mirip bank syariah. Lalu dengan kesadaran
sendiri, mereka mengumpukan modal demi memenuhi persyaratan modal yang
ditentukan.
Kedua, professionalisme. Pengelolaan BMT
umumnya berkiblat kepada bank syariah yang bersifat professional. Pegawainya
digaji dan dibayar sesuai dengan standar yang berlaku.
Ketiga dalam mengembangkan produknya, dia
bisa lebih bebas dari bank. Tidak dibatasi aturan ketat tentang kecukupan
modal, kecuali setelah keluar peraturan Mentri Koperasi tentang ukuran2 yang
harus dipatuhi baru-baru ini.
Keempat, small is beautiful kata Schumacher,
memang tercermin pada koperasi. Lembaga yang kecil ini bisa menembus segala
sudut masyarakat dan ruang yang ada di sektor publik. Dia tidak memerlukan
prosedur berliku dalam melayani masyarakat.
Seabreg Kendala
Marketing
Umumnya pengurus koperasi BMT mengurus
marketing setelah letih mengupayakan berdirinya lembaga. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika pemasaran dan jaringannya kedodoran. Ia harus berhadapan
dengan bank-bank, baik konvensional maupun syariah yang jaringan dan group
marketing yang dilengkapi dengan instrumen dan SDM yang canggih dan terlatih.
Apalagi setelah bank-bank itu juga turun mengurusi usaha kecil dan mikro, maka
koperasi BMT kian terpukul ke pojok.
Sumberdaya manusia
Para pegawai dan pengurus koperasi BMT
umumnya dilatih dalam sebuah pelatihan yang tidak lebih dari 5-6 hari kerja.
Lalu setelah itu dimagangkan di BMT yang sudah berjalan selama seminggu.
Kemudian diterjunkan langsung di BMTnya sendiri. Tidak mengherankan jika
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki diperoleh hanya dari internal
experience.
Umumnya alokasi dana pelatihan untuk para
pegawai dan pengurus BMT sangat minim. Para karyawan jarang dikirim untuk
pelatihan dan pendidikan. Sebab apabila diberikan pelatihan keluar, maka biaya yang
ditanggung dua kali lipat, yaitu biaya pendidikan/latihan dan biaya yang muncul
akibat tidak bekerjanya karyawan sehingga karyawan lain harus lembur. Padahal
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh untuk meningkatkan keuntungan belum
tentu diperoleh secara langsung.
Banyak yang lupa bahwa SDM di koperasi syariah/BMT sama seperti di bank
syariah, yang memerlukan dua dimensi yang harus dikuasai secara seiring dan
sejalan. Pertama pengetahuan tentang syariah muamalah dan yang kedua adalah
ekonomi dan keuangan secara praktis. Mungkin pada waktu pertama dulu dapat
dimaklumi keterpisahan penguasaaan kedua bidang itu. Akan tetapi kedepan,
menghadapi dunia yang penuh persaingan, karyawan bank dan koperasi syariah
tidak bisa lagi memiliki pengetahuan “sekuler”, syariah muamalah saja, atau
ekonomi dan keuangan saja.
Produk terbatas
Produk Koperasi syariah umumnya masih
terpisah-pisah. Untuk pembiayaan modal, diperlukan aturan dan pelaksana yang
terpisah dengan pembiayaan “consumer”. Dengan kata lain Koperasi BMT tidak
melakukan strategi “one stop service”. Dengan asumsi masyarakat kecil tidak
bisa datang ke bank, maka jika BMT tidak bisa melayani dengan cara seperti ini,
maka masyarakat tinggal gigit jari.
Selain itu, pengembangan produk layanan dalam
Koperasi BMT umumnya mengikuti trend yang berkembang, baik di bank syariah
maupun BMT lainnya. Padahal dengan potensi SDM yang dimiliki, wabil khusus
marketing dan DPS, berbagai layanan baru dapat dikembangkan.
Lender of the Last Resort
Tidak seperti bank yang didukung oleh lembaga
penjamin simpanan apabila terjadi likuidasi, BMT tidak memiliki dukungan yang
sama. Demikian pula lembaga yang bertindak selaku lender of the last resort
alias lembaga pemberi pinjaman terakhir apabila terjadi krisis likuiditas.Problem
ini sudah diidentifikasi sejak 15 tahun yang lalu, yaitu ketika kongres BMT
pertama diadakan pada tahun 1996. Sampai saat ini nampaknya belum ada
realisasinya, baik dari kalangan pemerintah maupun BMT sendiri.
Permodalan
Untuk bisa maju dan besar, logika sederhana
masyarakat berlaku: perlu modal besar juga. Bagaimana mungkin sebuah koperasi
BMT akan bisa besar dan maju dalam melayani masyarakat kecil, jika modalnya
pas-pasan? Diperlukan usaha terpadu, baik di kalangan koperasi sendiri maupun
pemerintah dalam menggalang peningkatan modal dalam rangka peningkatan layanan
kepada masyarakat.
Teknologi
Hal yang paling tertinggal dalam koperasi
syariah/BMT adalah masalah teknologi, meskipun secara mendasar, hampir tidak
ada koperasi syariah/BMT yang tidak menggunakan tekonologi komputer saat ini.
Akan tetapi untuk yang besar, mereka terpaksa harus gigit jari. Ambil misalnya
yang paling sederhana dan mudah dilihat masyarakat seperti ATM (Automatic
Teller Machine). Bank-bank baik konvensional maupun syariah dengan mudah
melakukan investasi dalam jaringan ini karena besarnya modal yang dimiliki.
Atau dengan mudahnya masuk dalam jaringan ATM bersama karena kemampuan untuk
membayar biaya bulanan atas jaringan yang digunakan.
Dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu
Terkadang koperasi harus rela dimanfaatkan
secara politis oleh pihak lain untuk memperoleh kedudukan maupun duit.
Sedangkan koperasinya sendiri tidak memperoleh apa-apa dari manuver yang
dilakukan pihak itu. Salah satu contohnya adalah klaim keberhasilan yang
diperoleh koperasi Syariah yang diakui sebagai keberhasilan suatu kepemimpinan.
Sikap koruptif segelintir anggota masyarakat semacam ini sampai hari ini masih
dirasakan negatifnya buat koperasi syariah.
Ancaman bagi Koperasi Syariah
KJKS akan dihilangkan dari ketentuan. Ini
bertentangan dengan realitas. Kalau di DPR, yang berkeberatan dan walk out atas
diundangkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah
Partai Damai Sejahtera, mungkinkah unsur-unsur dari PDS kini bermain di
departemen koperasi?
Jika perbankan syariah bertujuan (dan sudah
dibuktikan) untuk membangun ekonomi negara berdasarkan governance yang bersih
seperti yang dicita-citakan agama Islam, maka dapat disimpulkan bahwa mereka
yang ingin menghilangkan koperasi syariah adalah elemen anti negara dan tidak
menginginkan ekonomi negara diatur berdasarkan keadilan dan kebersamaan.
Mengherankan juga hidup di negara ini. Ketika
negara-negara barat seperti Switzerland, Netherland, Denmark dan lain-lain
begitu bangga dengan koperasi karena mampu digunakan sebagai sarana kebersamaan
dalam menghadapi kesulitan hidup, negara yang katanya berdasarkan Pancasila
yang menjunjung tinggi kebersamaan malah akan mematikan prinsip yang mulia ini.
Jika alasannya koperasi terlalu kecil untuk melayani sebagian besar masyarakat
Indonesia, hal itu karena koperasinya dibiarkan kecil atau bahkan malah
dibiarkan kecil dan kalau perlu dijaga agar tetap kecil. Hal itu karena
paradigma orang yang berfikirnya juga kecil…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar